Gadgetkan – Banyak pengguna ponsel Android menjalani aktivitas harian tanpa menyadari bahwa perangkat di genggaman mereka menyimpan risiko besar. Di balik layar yang masih berfungsi normal, sistem operasi lawas diam-diam membuka pintu bagi ancaman keamanan. Ponsel yang tidak lagi menerima pembaruan sistem dan patch keamanan ibarat rumah tanpa kunci. Celah keamanan yang seharusnya ditutup tetap terbuka, menunggu dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab. Ironisnya, ancaman ini sering dianggap jauh dan tidak relevan, padahal risikonya nyata. Mulai dari pencurian data pribadi, peretasan akun, hingga penyalahgunaan informasi finansial bisa terjadi kapan saja. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena ponsel kini menyimpan hampir seluruh aspek kehidupan digital penggunanya. Oleh sebab itu, ancaman dari OS lawas bukan sekadar isu teknis, melainkan persoalan keamanan pribadi yang menyentuh kehidupan sehari-hari miliaran orang.
Data Global yang Mengungkap Skala Masalah
Angka-angka terbaru menunjukkan betapa luasnya masalah ini. Berdasarkan data GlobalStats StatCounter per November 2025, hampir 35 persen pengguna Android global masih menjalankan Android 13 atau versi yang lebih lama. Rinciannya mencakup jutaan perangkat yang masih setia pada Android 13, Android 12, bahkan Android 11. Jika dikaitkan dengan jumlah pengguna Android dunia yang mencapai sekitar 3,9 miliar, maka sekitar 1,35 miliar perangkat berada dalam kategori rentan. Jumlah ini bukan sekadar statistik, melainkan gambaran nyata dari potensi krisis keamanan global. Apalagi, sebagian besar ponsel Android hanya mendapat dukungan pembaruan sistem selama dua hingga tiga generasi. Setelah itu, perangkat tetap digunakan, namun tanpa perlindungan memadai. Data ini menjadi pengingat bahwa masalah keamanan Android bukan kasus terisolasi, melainkan fenomena global yang terus membesar.
Mengapa OS Lawas Menjadi Sasaran Empuk Hacker
Sistem operasi lama menjadi sasaran favorit peretas karena sifatnya yang sudah “diketahui”. Celah keamanan pada OS lama biasanya telah dipelajari secara luas, bahkan terdokumentasi di forum-forum gelap. Tanpa pembaruan keamanan, celah tersebut tetap aktif dan mudah dieksploitasi. Setiap bulan, Google merilis patch yang menutup puluhan hingga ratusan kerentanan. Namun, ponsel yang tak lagi menerima update akan tertinggal dan menyimpan semua risiko itu. Situasi ini diperparah oleh kebiasaan pengguna yang menginstal aplikasi dari sumber tidak resmi. Dalam banyak kasus, malware menyusup melalui aplikasi berbahaya yang memanfaatkan kelemahan OS lama. Akibatnya, data sensitif seperti kata sandi, foto pribadi, hingga akses perbankan bisa jatuh ke tangan peretas tanpa disadari pemilik ponsel.
Temuan Keamanan Siber yang Mengkhawatirkan
Perusahaan keamanan siber Zimperium mencatat bahwa lebih dari separuh perangkat mobile setiap tahunnya menjalankan sistem operasi lawas. Lebih mengejutkan lagi, sebagian dari perangkat tersebut sudah terinfeksi malware. Temuan ini menegaskan bahwa ancaman bukan sekadar potensi, melainkan sudah terjadi. Patch keamanan Android biasanya menambal banyak celah sekaligus. Sebagai contoh, pembaruan Desember menutup lebih dari 100 kerentanan. Pengguna yang tidak menerima pembaruan otomatis akan terus membawa celah itu ke mana pun mereka pergi. Kondisi ini membuat serangan siber semakin mudah dan masif. Dalam dunia yang semakin terhubung, satu perangkat yang rentan bisa menjadi pintu masuk ke jaringan yang lebih besar. Oleh karena itu, penggunaan OS lawas bukan hanya berisiko bagi individu, tetapi juga bagi ekosistem digital secara keseluruhan.
“Simak Juga : Harga iPhone Air di Indonesia Turun Tajam, Selisih Hampir Rp 3 Juta”
Perbandingan dengan Ekosistem iPhone
Ketimpangan dukungan sistem antara Android dan iPhone semakin menonjol. Data menunjukkan sekitar 90 persen iPhone aktif di dunia masih menerima pembaruan software dari Apple. Artinya, hanya sebagian kecil perangkat yang benar-benar tertinggal. Hal ini terjadi karena Apple mengendalikan penuh perangkat keras dan lunaknya. Pembaruan bisa diberikan serentak dan dalam jangka panjang. Sebaliknya, ekosistem Android melibatkan ratusan pabrikan dengan kebijakan yang berbeda-beda. Akibatnya, banyak ponsel berhenti mendapat update hanya beberapa tahun setelah dirilis. Meski Android menawarkan pilihan harga dan model yang lebih luas, konsekuensinya adalah fragmentasi dukungan software. Inilah alasan mengapa jumlah perangkat Android rentan jauh lebih besar dibanding iPhone, meski jumlah penggunanya juga lebih banyak.
Langkah Praktis untuk Melindungi Diri
Di tengah kondisi ini, pengguna Android tetap memiliki langkah perlindungan yang bisa dilakukan. Pertama, pastikan perangkat masih menerima pembaruan sistem dan keamanan. Kedua, hindari mengunduh aplikasi dari sumber tidak resmi yang berpotensi membawa malware. Selain itu, periksa secara berkala versi Android yang digunakan melalui menu pengaturan. Jika ponsel sudah berada di Android 13 atau versi lebih lama dan tidak lagi kompatibel dengan update terbaru, pertimbangkan untuk mengganti perangkat. Keputusan ini memang tidak mudah, namun sering kali lebih aman dalam jangka panjang. Di era digital, keamanan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Melindungi ponsel berarti melindungi data, privasi, dan ketenangan hidup sehari-hari.